Pekan Kedua di Kota Lama

Sunday, March 19, 2017







Sabtu, 13 Februari 2016

Pelataran Taman Srigunting ramai malam ini. Selain karena malam Minggu, juga ada tampilan kesenian dari berbagai daerah di Jawa Tengah, yang diadakan khusus di pekan kedua tiap bulannya. Malam ini giliran Lengger Banyumas. Dua penari lincah mengikuti irama calung. Di bawah sorot lampu, tarian gemulai duo lengger ayu ini semakin memikat.

“Bagus ya?”seorang bule tiba-tiba nongol tepat di sampingku. Aku terkejut. Entah sejak kapan dia di situ. Bukan hanya dikejutkan oleh celetukan dan sapaannya di tengah pertunjukan saja sebetulnya, tapi juga karena... o'ouw.. bule ini ganteng.

“Iya, menarinya luwes, sudah profesional sepertinya,”jawabku. Eh, tunggu dulu, tapi yang barusan dia ajak ngomong benar aku kan? Tiba-tiba jadi salah tingkah. Jangan-jangan yang dia ajak ngomong, orang yang berdiri di depan, belakang atau sampingku. Akunya saja yang ke-GR-an.

“Betul, gerakannya luwes. Hiburan yang menarik di malam Minggu ya, mengangkat kesenian daerah,” ujarnya. Fiuh, ternyata benar aku yang diajaknya ngobrol. 

“Suka fotografi?” tanyanya lagi.

“Ha?” aku kembali bengong.

“Kok tahu?” tanyaku kemudian. 

“Itu," si bule menepuk dadanya.

Refleks aku ikut menunduk. Oh! sedari awal pertunjukan, kamera mirrorless mungilku memang tak hanya tergantung di leher saja, beberapa kali aku menggunakannya untuk menjepret aksi para penari dan pemusiknya. Tampaknya si  bule ini memperhatikan.

“Suka, tapi masih belajar, hasilnya juga masih gitu-gitu aja. Hobi juga sih. Kebanyakan untuk koleksi pribadi atau aku upload ke medsos. Oh iya, kita belum kenalan. Aku Rini,”ujarku sambil menjulurkan tangan. 

“Michael Ruppert. Panggil saja Mike," jawabnya sembari menjabat tanganku dan tersenyum. Oh,Mike..

“Asal mana ?”

“Belanda.” Ia tersenyum lagi.

“Wah, kamu orang Belanda tapi fasih Bahasa Indonesia ya."

“Saya sudah lumayan cukup lama di sini, Rini. Jadi sudah bisa Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa sedikit,” jelas pria bermata biru ini.

“Di Semarang, kerja? atau liburan?”

“Hmm.. Dua-duanya. Saya arsitek dan saya juga tertarik dengan seni budaya Indonesia.”

“Wah, toss dulu,”sautku penuh semangat.

“Kita sama. Aku juga arsitek. Eh, calon maksudnya. Aku mahasiswa jurusan arsitektur  dan aku juga suka sekali dengan seni budaya. Sekarang aku sedang meneliti pengaruh arsitektur modern terhadap Kota Lama sebagai kawasan konservasi, untuk tugas akhir.”

“Oh ya?” seru Mike antusias.

Obrolan kami sudah macam rel kereta api malam itu. Panjang dan bercabang-cabang. Topik pembicaraan tak habis-habis bermunculan. Sampai saatnya harus berpamitan. Mike menyelipkan secarik kertas ke dalam jabatan tanganku sebelum ia menghilang dalam kerumunan penonton.

“Hmm.. Banyak yang bisa kita perbincangkan, Rini. Kalau begitu pekan kedua di bulan mendatang kita harus bertemu lagi di sini.”

Sabtu, 12 Maret 2016

Jam di ponsel menunjukkan pukul 19.45. Udara terasa lebih sejuk usai hujan mengguyur kota ini. Begitu juga dengan suasana di Taman Srigunting. Ah, sudah ramai ternyata. Aku kira karena hujan deras sempat mengguyur, pertunjukan kesenian di pekan kedua ini bakal sepi. Segera, aku mencari tempat duduk di barisan tengah.

Kali ini pertunjukan tanpa panggung. Panitia sepertinya ingin memberi sedikit nuansa berbeda. Beberapa obor ditancapkan di tiap sudut sebagai pengganti lampu sorot panggung. Di sudut lain, para pemusik dengan seperangkat gamelan telah siap. Malam ini giliran Gambang Semarang yang ditampilkan.


Salah satu kesenian daerah khas Jawa Tengah yang mulai dihidupkan kembali. Tak hanya musik dan gerakan, kostum yang dikenakan juga cukup menyedot perhatian. Lupa nama tariannya, tapi asik ditonton. hehe..






“Hai, Rini,” seorang bule tiba-tiba kembali nongol tepat di sampingku. Mike! Kali ini dia tampil lebih kasual, celana pendek coklat dipadu kaos oblong putih dan beralas kaki sneaker. Cocoklah dengan usianya yang sekitar 30-an, dan tetap tidak mengurangi kadar kegantengannya.

“Hai, Mike. Aku kira kamu nggak jadi datang karena tadi hujan,”balasku.

“Oh, saya pasti datang. Gambang Semarang salah satu favorit saya. Selain itu...”Mike mengerling.

“Ada calon arsitek cantik yang seru untuk diajak ngobrol,”godanya. Aku seketika tersipu malu. *Kaca mana kaca...!*

“Saya suka dengan kesenian ini, karena cukup lengkap. Ada seni musiknya, seni tarinya, dan yang tidak kalah seru, ada lawaknya. Coba kamu nanti perhatikan, tarian Gambang Semarang sangat dinamis. Dan, khusus untuk kelompok ini, lawakannya lucu sekali,”cerocos Mike.


Wayang Orang. Tak melulu disajikan di panggung, pertunjukan ini justru menarik banyak perhatian saat ditampilkan di area terbuka. Durasi pertunjukan juga disesuaikan, sehingga penonton tidak bosan.

Wow, dia menerangkan dengan detail. Pengetahuanku tentang kesenian ini bahkan tidak sebanyak itu. Jadi malu, dia yang berasal dari luar negeri justru lebih paham akan seni budaya negeriku. Diam-diam jadi terbersit kagum. Ganteng, cerdas, dan bisa mengapresiasi seni. Delapan plus deh buat bule ganteng ini.

Akhirnya pertunjukan selesai, tapi ternyata masih belum terlalu malam. Jalan-jalan menikmati kawasan Kota Lama sepertinya bukan ide yang buruk. Apalagi kalau jalan-jalannya ditemani bule ganteng. Haha..

Untunglah, Mike mengiyakan ajakanku. Karena perut keroncongan, jalan-jalan berujung di Pasar Semawis. Ya, tiap malam Sabtu, Minggu dan Senin, salah satu gang di kawasan Pecinan dijadikan sebuah pasar kuliner. Mulai dari jajanan jaman lawas, olahan makanan peranakan, sampai menu-menu modern dijajakan di sini. Tinggal pilih.

“Apa yang membuat Rini tertarik mengangkat Kota Lama sebagai tema tugas akhir?”Mike membuka pembicaraan. Tangan pucatnya mengambil sepotong tahu petis dari piring di meja kami.

“Banyak. Pertama dari segi gaya bangunan, harus aku akui Kota Lama cukup menarik. Kedua, sebagai salah satu ikon kota Semarang, kawasan ini mulai menggeliat, pasti ada berbagai permasalahan yang perlu dibenahi bersama untuk memajukanya. Nah, itu yang sedang kudalami”.

Ya, menarik memang mengikuti perkembangan kawasan ini. Sinergi dari sejumlah pihak menjadikan Kota Lama kembali ramai dikunjungi. Berbagai acara dan festival kerap digelar, beberapa gedung tua pun ‘dihidupkan’ kembali. Sebagian dimanfaatkan sebagai galeri, cafe dan lainnya tanpa mengesampingkan ciri khas bangunan.

“Betul! Permasalahan pasti ada. Menurut saya, salah satunya yaitu tidak adanya jalur pejalan kaki di Kawasan Kota Lama ini,” Mike berpendapat. “Dan...”

Saking asiknya ngobrol, tak terasa dua jam berlalu. Waktunya berpamitan kembali. Sekali lagi, Mike dengan cepat menghilang. Hm.. dengan tubuh setinggi itu, langkah kakinya pasti dua kali lebih cepat dariku. Pikirku.

Ah, tapi tadi kenapa aku tidak bertukar nomor ponsel dengannya. Aku mengumpat dalam hati. Harus menunggu sebulan lagi, pada Sabtu di pekan kedua. Baiklah.

Sabtu,  9 April 2016

Sabtu malam di pekan kedua rasanya jadi semacam agenda wajib untuk berkunjung ke Kota Lama. Sekarang ada dua alasan. Pertama menyaksikan kesenian daerah, kedua semoga bisa bertemu lagi dengan Mike, si bule ganteng. Aku menyeringai ketika membayangkannya.

Tak sabar, aku mulai memegangi kameraku. Kali ini giliran Topeng Ireng dari Magelang yang tampil. Belasan penari tampil dengan kostum dominan berwarna hitam emas dan gerakan yang dinamis. Tarian ini menceritakan sesuatu, ah tapi aku tadi tidak konsentrasi mendengarkan penjelasan awal dari pembawa acara.

Topeng Ireng. Salah satu tarian kreasi yang banyak dikembangkan di Magelang dan sekitarnya.


Tunggu... Jam berapa sekarang?

Aku mulai menoleh ke kanan dan ke kiri. Aku sibuk mencari Mike. Mana dia, jangan-jangan malam ini dia tidak datang. Jangan-jangan dia sudah pulang ke negaranya. Ah, kenapa bulan lalu tidak minta nomor yang bisa dihubungi sih. Aku mengumpat dalam hati.

“Hai Rini” tiba-tiba terdengar suara dari samping kananku. Fiuh, nongol juga dia. Aku menoleh ke arahnya, “Hai, Mike!” Kali ini, aku tersenyum lebih dulu.

Seperti malam-malam sebelumnya, obrolan kami panjang bercabang macam rel kereta api. Dan, malam ini pembicaraan semakin berkembang. Banyak pengalaman-pengalamannya sebagai seorang arsitek yang ia ceritakan. Tantangan, tujuan, pencapaian dan lain sebagainya.

Pembahasan yang cukup serius tersebut entah mengapa menjadi ringan. Tak jarang, aku tergelak mendengar kisahnya. Seru deh! Selain cerdas, pria ini ternyata juga memiliki selera humor yang menarik.

Sayang, malam mulai larut, kami harus pulang. Ah.. cepat sekali waktu berlalu. Tapi bulan depan kami berjanji untuk berjumpa lagi di Kota Lama. Ya, bulan depan di Sabtu pekan kedua akan diselenggarakan festival di kawasan ini. Selain itu ada juga pameran di beberapa galeri.

Malam itu, aku tak bisa tidur nyenyak.

Sabtu, 14 Mei 2016

Akhirnya, Sabtu malam di pekan kedua.

Setelah beberapa kali mencoba beberapa setel baju, aku putuskan berdandan kasual. Celana denim belel dan kaos putih lengan panjang dengan alas kaki sneaker.

Sudah, jangan pada protes, ini dandanan keren dan nyaman versi Rini si Calon Arsitek Cantik. 

Malam ini tidak ada tampilan kesenian daerah. Berganti dengan sejumlah stan yang memeriahkan festival. Lalu di mana aku bisa temui Mike? Banyak topik seputar dunia arsitektur yang ingin kubahas. Sekaligus, menanyakan nomor ponselnya yang dari empat bulan lalu selalu lupa aku tanyakan.

Aku berjalan mengitari kawasan Kota Lama, sembari melayangkan pandanganya, menyusuri area ini. Mungkin saja Mike ada di salah satu sudutnya. Tapi sia-sia. Jangankan batang hidungnya, bayangannya pun nggak kelihatan.

Setelah hampir dua jam mencari, aku memutuskan berbelok ke salah satu galeri. Sedang ada pameran rupanya, tentang sejarah kawasan ini.

Aku melangkah masuk ke ruang pamer. Di salah satu dinding terpampang lukisan-lukisan dan foto-foto dari beberapa arsitek bangunan serta tokoh-tokoh terkemuka asal Belanda yang memiliki peran dalam pengembangan Kota Lama sejak dua abad lalu.

Satu per satu, foto-foto tersebut aku cermati. Ada beberapa wajah yang pernah aku lihat sebelumnya. Ada juga wajah-wajah asing. Aku mencoba menghafal nama-nama itu untuk kupelajari nanti.

Mendadak aku terkesiap. Napasku tertahan. Wajah itu tidak asing. Aku sepertinya mengenali salah satu wajah di lukisan itu.

Tidak mungkin.. Sebentar, Rini.. Ada penjelasan di bawahnya..

Jari-jariku menyusuri foto itu, menuju sebuah nama. Lalu, terhenti disana. Michael F Ruppert, (1870 – 1903).






You Might Also Like

0 comments

Blogger Perempuan