Yuk, Dukung Penerapan Kawasan Tanpa Rokok
Sunday, June 30, 2019
Dampak buruk asap yang terhirup
oleh perokok pasif ternyata jauh lebih berbahaya dibanding perokok aktif. Hal
tersebut rasanya sudah sangat masif digembar-gemborkan. Sayangnya, masih banyak
yang tidak peduli, cuek saja merokok di ruang publik yang tentu merugikan para secondhand smokers.
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) sangat
dibutuhkan, guna menekan efek negatif terhadap kesehatan, khususnya pada
anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Sinergi pemerintah dan masyarakat
menjadi salah satu kunci. Yaitu melalui penetapan peraturan sebagai alat untuk
‘memaksa’ para perokok agar lebih tertib dan gerakan dari masyarakat untuk
meningkatkan kesadaran orang-orang di lingkungan mereka.
Bahaya Asap Rokok !!
“Ngerokok pakai duit-duit gue
sendiri, mulut-mulut gue sendiri, kenapa lo yang ribet!”
Kalimat di atas diakui oleh
Sumiati – salah seorang pegiat Kampung Tanpa Rokok – tak jarang dilontarkan
oleh sejumlah perokok saat dinasehati untuk berhenti merokok atau setidaknya
tidak merokok di dalam rumah.
“Ada juga perempuan datang ke
saya mengadu, suami merokok luar biasa, sudah ditegur jangan merokok di rumah,
tapi malah berujung ribut,”curhat Sumiati dalam talkshow Ruang Publik KBR serial
#PutusinAja edisi 3 dengan tema ‘Kawasan Tanpa Rokok Untuk Wujudkan Kota Layak
Anak’, yang disiarkan Kantor Berita-KBR pada 12 April lalu.
Memang, betul sekali, si perokoklah
yang aktif menghisap. Tapi karena adanya filter pada ujung batang rokok, dari
100 persen bahaya asap rokok hanya 25 persen saja yang dirasakan oleh perokok
aktif, 75 persen sisa bahaya dari asap rokok didapatkan oleh perokok pasif
karena menghirup asap rokok secara tidak langsung.
Mengutip laman resmi Kemenkes,
rokok mengandung 4.000 zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan. Diantaranya,
nikotin yang bersifat adiktif, Tar yang bersifat karsinogenik (pemicu kanker),
hingga formalin.
Asap rokok yang membawa zat-zat
berbahaya tersebut bisa bertahan di udara antara dua hingga tiga jam. Bisa juga
mengendap di lantai atau benda-benda di sekitar tempat merokok. Bahkan, racun
yang berasal dari asap tersebut bisa menempel di rambut, badan, tangan dan baju.
Anak yang terpapar asap rokok
dapat mengalami peningkatan risiko terkena bronchitis, pneumonia, infeksi
telinga tengah, asma serta pertumbuhan paru yang lambat. Orang dewasa bukan
perokok yang terus menerus terpapar juga berisiko mengalami kanker paru dan
jenis kanker lainnya.
Miris sekali bila perokok mengepul
di tempat yang tidak seharusnya, kemudian ditegur, alih-alih mematikan rokok, malah
nyolot. Karena ternyata, justru si perokok
pasiflah yang jauh lebih berisiko terancam kesehatannya.
Masyarakat Tergerak Kembangkan Kampung Tanpa Rokok
Besarnya risiko yang harus
ditanggung perokok pasif sudah jelas. Sumiati, warga Kampung Penas, Jakarta
Timur ini menjadi salah satu contoh korban. Pada tahun 2007, ia menderita
penyakit paru-paru, sebagai dampak dari paparan asap rokok suami.
Merasakan langsung dampak
negatif, ia berharap tidak ada lagi perempuan, anak-anak atau non perokok yang
menjadi korban. Tahun 2012, sosialisasi terkait bahaya rokok mulai disampaikan
di lingkungan ia tinggal.
“Keadaan kampung banyak warga
terkena penyakit paru karena terpapar asap rokok. Ibu-ibu dan anak-anak harus
dilindungi, kampung harus bebas asap rokok,”katanya.
Tahun 2017, didampingi oleh Lembaga
Swadaya Masyarakat FAKTA (Forum Warga Kota Jakarta), terealisasilah Kampung Penas
sebagai Kampung Warna-Warni Tanpa Rokok. Bersama LSM tersebut dan lima pegiat
lainnya, Sumiati aktif mengedukasi warga.
Para pegiat menyebarkan toolkit terkait komitmen dalam
menciptakan kampung bebas rokok. Hasilnya, hampir 100 persen warga menyatakan
setuju. Warga kampung yang berlokasi di Jakarta Timur ini sepakat, bahwa
perkampungan tersebut harus bebas asap rokok.
Artinya, siapapun yang memasuki
area kampung dilarang merokok, baik penghuni setempat maupun pendatang. Selain
itu dilarang menjual serta mempromosikan atau beriklan rokok. Aturan-aturan
tersebut juga disertai sanksi bagi yang melanggar.
Seperti saat kedatangan tamu dan
kedapatan merokok di rumah yang dikunjungi. Maka tamu dan pemilik rumah harus membayar
denda masing-masing sebesar dua bungkus rokok yang dihisap.
Dua tahun sudah Kampung Penas
menjadi Kampung Warna-Warni Tanpa Rokok. Dampak positif terasa, sebagian
perokok ada yang sudah berhenti total, produk-produk rokok juga sudah tidak
dipajang di etalase warung.
Namun, diakui Sumiati, belakangan
komitmen nampaknya mulai sedikit mengendor. Ada yang mulai ‘nakal’. Meski tidak
merokok di rumah, teras atau dalam kampung, tapi ada anak-anak dari luar yang
merokok di zona larangan. Di pinggiran kali, di jalanan masuk ke kampung
diantaranya. Padahal, sudah disiapkan dua titik untuk mereka merokok.
Menurut Sumiati, kondisi
‘curi-curi’ merokok di kawasan yang seharusnya bebas asap rokok tersebut karena
kurangnya pengawasan. Sehingga ia berharap, gerakan yang telah diinisiasi oleh
warga juga ikut diawasi oleh pemerintah setempat.
Dorong Perda KTR di Tiap-Tiap Kabupaten/Kota
Terkait permasalahan rokok, sejumlah
peraturan pemerintah maupun instruksi menteri telah dikeluarkan. Diantaranya Peraturan
Pemerintah (PP) 109/2012, tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif
Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Di dalamnya terdapat landasan
pembentukan Perda KTR (Kawasan Tanpa Rokok).
Area yang dinyatakan dilarang
untuk kegiatan merokok, memproduksi, menjual, serta mengiklankan produk rokoklah
yang disebut sebagai KTR. Setidaknya ada tujuh area yang seharusnya bebas dari
rokok. Yaitu fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar,
tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum
serta tempat lain yang ditetapkan.
KTR ini juga bentuk perlindungan
hak anak dari sisi kesehatan. Baik untuk menikmati udara yang tidak tercemar
asap rokok, maupun terbebas dari kontaminasi lingkungan perokok dan paparan
iklan, yang dapat menggiring anak menjadi perokok pemula. Karena itu Perda KTR
juga menjadi salah satu indikator, sebuah kota/kabupaten layak mendapatkan
predikat Kota Layak Anak (KLA).
Namun, berdasarkan data dari
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak pada 2018 lalu, dari 389
kabupaten/kota yang berkomitmen menjadi kota layak anak, baru 103 kota yang
memiliki peraturan terkait KTR, dan baru 10 kabupaten/kota yang telah memiliki
larangan terkait iklan, promosi dan sponsor rokok.
Kasubdit Perlindungan Anak, Dit.
Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga, Kementerian PPN/Bappenas, Ir.
Yosi Diani Tresna, MPM mengatakan, perlu adanya sinkronisasi kebijakan, dari
sisi perdagangan, pertanian terkait pertembakauan, serta kebijakan kawasan
tanpa rokok.
Banyak pihak juga harus terlibat,
tidak bisa hanya pemerintah yang berjalan sendiri. Oleh karena itu, Yosi sangat
mengapreasiasi inisiatif warga dalam menciptakan kampung-kampung bebas rokok.
“Kampung Tanpa Rokok merupakan inisiatif
warga. Artinya gerakan berasal dari kesadaran mereka, karena melihat ada
sesuatu yang negatif di lingkungannya. Sedangkan dari pemerintah, sifatnya
‘paksaan’. Inisiatif warga yang dikawal oleh peraturan daerah merupakan
kombinasi yang bagus,”kata Yosi dalam diskusi serial #PutusinAja yang dipandu
oleh penyiar Kantor Berita-KBR, Don Bradi.
Non Perokok Berhak Menghirup Udara yang Tidak Tercemar Asap Rokok
Dari diskusi Ruang Publik yang
disiarkan oleh Kantor Berita Radio-KBR, saya sependapat dengan Ibu Yosi. Bahwa
untuk menekan konsumsi rokok khususnya pada anak perlu ada sinkronisasi
kebijakan serta sinergi berbagai pihak.
Hasil Riset Dasar (Riskesdas)
yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan, tren prevalensi perokok
belia terus mengalami kenaikan. Tahun 2013 sebesar 7,9 persen, kemudian tahun
2016 meningkat menjadi 8,8 persen dan tahun 2018 mencapai 9,1 persen. Padahal,
target pemerintah tahun 2019 prevalensi perokok belia turun menjadi 5,4 persen.
Sebagai orang dewasa, yuk kita
#PutusinAja kebiasaan-kebiasaan negatif terkait rokok. Bagi perokok dianjurkan
untuk berhenti, tapi kalau belum bisa alangkah baiknya jika tidak sembarangan
merokok. Sehingga kepulan asap tidak menggangu dan perilaku Anda tidak menjadi
contoh buruk untuk anak-anak.
Begitu juga dari sisi pemerintah, diharapkan bisa segera #PutusinAja berbagai kebijakan yang dapat menekan konsumsi rokok. Karena sekali lagi, masalah
rokok khususnya pada anak, saling terkait antara lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal, teman
sepermainan, kemudahan mendapatkan produk hingga paparan iklan.
***
Bagi teman-teman yang ingin mendengarkan
langsung serial #PutusinAja, bisa streaming di KBR.ID atau lewat aplikasi KBR
Radio. Rekamannya juga bisa disimak di Facebook Live Video di FB Page Kantor
Berita Radio-KBR atau di sini.
![]() |
Sumber gambar : freepik.com |
1 comments
Terimakasih infonya, sukses terus..
ReplyDelete